DISAIN SALURAN IRIGASI

Air merupakan benda yang sangat dibutuhkan oleh semua mahluk hidup di permukaan bumi ini. Oleh manusia, air digunakan untuk keperluan sehari-hari seperti untuk memasak dan minum, mencuci, pembersihan, pengairan dan irigasi, industri, sarana transportasi dan lain-lain. Oleh karena itu perlu pengelolaan sumber daya air, agar bermanfaat yang sebesar besarnya serta tidak membawa dampak yang merugikan bagi kepentingan mahluk hidup lainnya. Salah satu bentuk pengelolaan sumber daya air adalah pemanfaatannya secara teknis untuk keperluan pengairan atau irigasi, yaitu dengan suatu usaha untuk mendatangkan air dengan membuat bangunan-bangunan dan saluran-saluran untuk mengalirkan air guna keperluan pertanian, membagi-bagi air ke sawah-sawah atau ladang-ladang dengan cara teratur dan jumlah yang cukup, kemudian membuang air yang tidak diperlukan lagi. Pekerjaan yang harus dilakukan untuk usaha tersebut di atas adalah perencanaan saluran irigasi yang meliputi perencanaan saluran induk atau saluran primer, saluran sekunder, saluran tersier dan saluran kuarter. Perencanaan saluran yang dimaksud antara lain untuk mendimensi saluran dan kemiringan dasar saluran dengan model pendekatan-pendekatan. Dalam tulisan ini, untuk merencanakan saluran yang dimaksud digunakan standar dari Direktorat Jenderal Pengairan Kementerian Pekerjaan Umum dalam buku Pedoman Kriteria Perencanaan Teknik Irigasi, Edisi Agustus 1980

DRAINASE UNTUK MENINGKATKAN KESUBURAN LAHAN RAWA

Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki lahan rawa yang cukup luas, diperkirakan sekitar 39,4 juta hektar rawa potensial yang tersebar di beberapa pulau, seperti Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua. Lahan rawa merupakan suatu ekosistem yang masih menyimpan banyak misteri yang belum terungkap, sehingga dalam berbagai tulisan mengenai rawa, dikatakan memiliki opsi masa depan. Di sisi lain lahan rawa merupakan pilihan akhir setelah yang lainnya tidak memungkinkan lagi untuk dieksploitasi. Belakangan,  sumberdaya yang tersimpan di daerah rawa mulai terungkap dan opsi untuk berbagai kegiatan telah dijatuhkan ke daerah rawa. Sebagai contoh, reklamasi rawa dan pembukaan lahan dilakukan sebagai suatu upaya untuk meningkatkan fungsi dan untuk kepentingan masyarakat luas, terutama yang bermukim di daerah sekitar. Usaha ini dilakukan dengan maksud untuk meningkatkan produksi pangan, meratakan penyebaran penduduk, mempercepat pembangunan di daerah dan ketahanan nasional. Produksi pangan akan meningkat, jika lahan rawa yang ada diberdayakan dengan usaha-usaha untuk meningkatkan kesuburan tanahnya. Keberhasilan program peningkatan produksi pangan melalui pemberdayaan lahan rawa sangat dipengaruhi oleh sistim drainase yang ada. Drainase secara umum dapat mempengaruhi kondisi tanah pertanian, yaitu terhadap aerasi tanah, kelembaban tanah, transportasi dan keefektifan nutrien dan pestisida, temperatur atau suhu tanah, bahan-bahan racun dan hama penyakit, erosi tanah dan banjir, kesuburan tanaman dan hasil tanaman. Kesemua pengaruh adalah positif dari perspektif pertanian dan menggambarkan nilai teknologi drainase untuk produksi pertanian. Agar pengaruh positif dari perspektif pertanian tersebut muncul, maka ada 2 konsep sistem drainase yang dilakukan yaitu dengan pencucian lahan (leaching) dan pembuatan saluran drainase dangkal. Pencucian lahan (leaching) dimaksudkan agar air di lahan tidak asam, yaitu dengan membuang bahan beracun (toxi) yang ada di lahan rawa dengan proses drainase, tanah yang dicuci adalah tanah pada zona perakaran. Sementara pembuatan saluran drainase dangkal dimaksudkan untuk membuang bahan beracun (toxi) dengan oksidasi dari drainase zona perakaran. Elevasi muka air tanah dijaga pada kedalaman 0.40 – 0.60 m dari muka tanah melalui pembuatan saluran parit dangkal

Responses to phosphate deprivation in white clover (Trifolium repens L.) : a thesis presented in partial fulfilment of the requirements for the degree of Master of Philosophy in Plant Biology at Massey University

Four breeding lines of white clover (Trifolium repens L.) were obtained from AgResearch Grasslands, Palmerston North, New Zealand, that had been shown previously to differ in terms of specific growth responses to added phosphate (P) in the field. These were designated Breeding Line (BL) 43 (low performer on low P; low performer on high P), BL 45 (low performer on low P; high performer on high P), BL 47 (high performer on low P; high performer on high P), and BL 49 (high performer on low P; low performer on high P). These breeding lines and five selected genotypes that were propagated from each line (designated 43-7, 43-8. 45-14. 45-4 and 47-9) were rooted in half-strength Hoagland solution in vermiculite for two weeks and then transferred to half-strength Hoagland liquid media for five weeks prior to the initiation of the experiments. For the breeding line screening, plants were acclimatized in a constant temperature environment for one week prior to treatments, while for the genotypic screening, plants were maintained in a temperature-controlled glasshouse. These lines and genotypes were characterized in relation to P uptake and utilization efficiency by growing in P-sufficient media (+P; 0.5 mM KH2PO4) and P-deficient media (-P; 0 mM KH2PO4) for 3, 5, 7 and 14 days (for the breeding line screening) and 7, 14 and 21 days (for the genotype screening). Over the time course, inorganic phosphate (Pi) content in leaves, non-specific acid phosphatase (APase) activity in intact roots (both as a total soluble activity and a cell-wall-associated activity), isoenzyme analyses, shoot dry weight (DW) and fresh weight (FW), leaf area, weight of an individual leaf (designated as the weight of the first fully expanded leaf), root FW, and the root:shoot (R:S) ratio were determined. Pi deprivation enhanced the induction of one major low mobility cell wall acidic isoform, two minor high mobility cell wall acidic isoforms and one major low mobility cell wall basic isoform in all genotypes. Furthermore, the activity of one major low mobility cell wall basic isoform was more higher in genotype 45-14 and one minor high mobility cell wall basic isoform was induced only in genotype 45-14 in response to Pi deprivation. In terms of individual BLs and genotypes, the screening results showed that BL 49 and genotype 45-14 displayed a constant Pi content and a slow induction of APase activity in the -P media, and had the highest total biomass FW in both +P and -P media. Overall (in both treatments) BL 49 and genotype 45-14 are the most efficient at utilizing available P as they produced the largest biomass FW, produced more roots in P- deprived media when compared with the other BLs and genotypes, and were more efficient in utilizing the P for the synthesis of biomass. BLs 43 and 45 and genotypes 43-7 and 43-8 are less efficient at utilizing available P, while under P deprivation, BL 45 and genotype 45-14 are the most efficient at utilizing P compared to the other BLs and genotypes. The study also showed that the Pi content in leaves and APase activity in roots was found to be the plant parameter most sensitive to Pi deprivation, and the results suggest that the selection of white clover germplasm for satisfactory performance under low P availability can be carried out using these two parameters as criteria

Model Mental Mahasiswa Pada Fenomena Penghilangan Karat Melalui Elektrolisis

Penelitian ini bertujuan untuk menggali model mental mahasiswa dalam memahami fenomena penghilangan karat melalui elektrolisis. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan metode penelitian cross-section. Subyek penelitian adalah mahasiswa semester III dan V Program Studi Pendidikan Kimia FKIP Universitas Mataram yang dipilih dengan purposive sampling. Model mental mahasiswa digali menggunakan tes tertulis dan wawancara semistruktur. Model mental mahasiswa dianalisis menggunakan teknik constan comparative. Hasil penenlitian menunjukkan bahwa sebagian besar mahasiswa mengembangkan model mental inisial dalam memahami fenomena penghilangan karat melalui elektrolisis. Selain itu, ditemukan bahwa seiring dengan bertambahnya usia individu, model mental yang dikembangkannya mendekati model mental saintifik.Kata Kunci: model mental, karat, elektrolisis

EFISIENSI FAKTOR PRODUKSI DAN PENDAPATAN PADI SAWAH DI DESA MASANI KECAMATAN POSO PESISIR KABUPATEN POSO

This research aimed to identify the use efficiency of production factors and the income level of wetland rice farm at Masani Village of Poso Pesisir Sub district of Poso Regency. This Location was purposively determined. Respondents were determined using a simple random sampling method.  The number of samples was 63 people taken from population of 167 people. The Cobb-Douglas production function was used to analyze the use efficiency of wetland rice farm production factors and the level of income was descriptively analyzed. Results of the research showed that (1) factors such as farm area size, seed, fertilizer and labor were not efficiently used in the wetland rice farm at Masani Village of Poso Pesisir Sub district, so increasing these factors are required to reach maximal production and income, and (2) the income of the wetland rice farmers at Masani Village of Poso Pesisir Sub district can be divided into three levels included low income equal             to 30.16%, medium 38.10%, and high 31.74%

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENERIMAAN PAJAK DAERAH DI KABUPATEN KARANGANYAR TAHUN 1983 - 2004

Penelitian ini berjudul “Analisis Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penerimaan Pajak Daerah di Kabupaten Karanganyar Tahun 1983 - 2004” yang bertujuan untuk untuk mengetahui pengaruh jumlah kendaraan bermotor, jumlah hotel, jumlah pengujung tempat hiburan dan jumlah penduduk terhadap penerimaan pajak daerah. Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan cara analisis regresi linier berganda dengan metode partial adjustment model dan pengujian statistik yang meliputi uji t, uji F dan uji koefisien determinasi serta pengujian asumsi klasik yang terdiri uji spesifikasi model, uji normalitas, uji multikolinieritas, uji heteroskedastisitas dan uji autokorelasi.. Uji t variabel jumlah hotel, jumlah kendaraan bermotor, jumlah pengujung tempat hiburan (wisatawan) dan jumlah penduduk tidak berpengaruh terhadap penerimaan pajak kabupaten Karanganyar sampai pada α = 10% dan variabel penerimaan pajak tahun sebelumnya berpengaruh terhadap penerimaan pajak daerah kabupaten Karanganyar pada α = 1%. Uji F nilai Fhitung sebesar 126,2869 dan Ftabel pada α = 1% sebesar 4,56 maka model eksis. Uji koefisien determinasi sebesar 0,976796 artinya variasi dari penerimaan pajak di kabupaten Dati II Karangnyar dapat dijelaskan oleh jumlah penduduk, jumlah pengunjung tempat hiburan (wisatawan), jumlah kendaraan bermotor, jumlah hotel dan penerimaan pajak tahun sebelumnya sebesar 97,6796% sedangkan siasinya 2,3204% dijelaskan oleh variabel lain di luar model. Uji asumsi lasik untuk uji spesikasi model maka model belum spesifik, uji normalitas data tersebar normal, uji multikolinieritas variable jumlah kendaraan bermotor dan jumlah pengunjung tempat hiburan (wisatawan) terjadi multikolinieritas sedangkan variabel jumlah penduduk, jumlah hotel dan penerimaan pajak tahun sebelumnya tidak terjadi multikolinieritas, untuk uji heteroskedastisitas penelitian ini terjadi heteroskedastisitas dan uji autokorelasi tidak terjadi autokorelasi

Analisis Pengaruh Marketing Strategis Dan Perilaku Konsumen Terhadap Keputusan Pembelian Minyak Goreng Filma

This study tried to research the analysis of the influence of strategic marketing and consumer behavior towards purchasing decisions Filma cooking oil. In this study the number of samples used are as many as 100 people. Conclusions from this research is that which consists of strategic marketing: product, price, distribution and promotion of a positive and significant impact on purchasing decisions Filma brand cooking oil. This is due to the t value greater than t table. Further acceptance of H1 is also supported by the results obtained on the p-value significance value of 0.031 which is smaller than α = 0.05. Comprising of consumer behavior: the acquisition phase, the consumption stage, and post-purchase stages positive and significant impact on purchasing decisions Filma brand cooking oil. This is due to the t value greater than t table. Further acceptance of H2 is also supported by the results obtained on the p-value significance value of 0.032 which is smaller than α = 0.05

An Investigation of Refractive Index of Solutions of Ammonia and Water at Various Concentrations and Temperatures

Refractive index of ammonia-water solutions is investigated experimentally (for (lamda) = 632.8 nm) and semi-empirically (for (lamda) = 589.3 and 632.8 nm) in ammonia-weight concentration of up to 30%, over a temperature range of 20 to 60(DEGREES)C. The experiment employs a specially designed and built refractometer that measures the displacement of a laser beam due to refraction in the test solution. The refractive index is then deduced from the beam displacement. Based on the experimental data, the refractive index is correlated empirically with the concentration and temperature. A semi-empirical investigation is developed based on the Lorentz-Lorenz equation and the additive rule of mixtures with an empirical correction function. Both the experimental and semi-empirical results indicate that the refractive index increases with the concentration and they confirm qualitatively the general behavior of refractive indices of liquids, i.e.; they decrease with increases in either temperature or wave length of light. Quantitatively, both sets of results are in reasonably good agreement, especially, for moderate concentrations (up to 15%)